Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Wadah Budidaya Perikanan : Karamba Jaring Apung (KJA)

Teknik budidaya ikan di karamba jaring apung (KJA) sudah dimulai sejak tahun 1954 di Jepang, yaitu untuk memelihara ikan "Yellowtail" (Seriola quinqeuradiata). Metode ini relatif sederhana, sehingga pada akhir-akhir ini banyak negara yang mengikuti penggunaan teknik ini. Keuntungan budidaya ikan dengan metode ini terutama adalah memanfaatkan perairan umum, sungai, waduk dan danau untuk produksi ikan tanpa adanya pengaturan air, suhu, dan saluran perairan. Keuntungan lain dengan menggunakan metode ini adalah memungkinkan penggunaan perairan secara maksimum dan ekonomis, mengurangi penggunaan tanah untuk produksi ikan seperti kolam, tambak, dan sebagainya, reproduksi predator dan populasi ikan mudah dikontrol, mudah dipindahkan bila terjadi hal yang membahayakan, mudah dipanen, transportasi ikan hidup, dan modal awal relatif lebih kecil.
Karamba Jaring Apung [sumber]
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam usaha budidaya ikan dengan metode ini adalah: penempatan karamba harus di lokasi perairan yang bebas dari pencemaran, fluktuasi tahunan sifat-sifat fisika-kimia air tidak terlalu besar sehingga tidak membahayakan bagi kehidupan ikan peliharaan.

Penjagaan harus lebih ketat karena pencurian ikan dapat dilakukan dengan mudah. Beberapa bahan yang digunakan untuk membangun KJA secara umum meliputi: bingkai, pelampung, tali, jaring, jangkar, dan sebagainya. Bingkai KJA dapat dibuat dari bahan kayu, bambu atau besi yang dilapisi bahan anti karat. Pemilihan bahan bingkai sebaiknya disesuaikan dengan tersedianya bahan di lokasi budidaya. Di Indonesia, bambu cukup banyak tersedia dan harganya relatif murah dibandingkan dengan kayu, karenanya untuk pembuatan KJA digunakan bingkai bambu. Ukuran bingkai biasanya 7x7 m.

Pelampung untuk mengapungkan bingkai dapat dibuat dari bahan drum volume air 200 liter yang terlebih dahulu di cat anti karat, styrofoam, dan drum fibreglass. Di Teluk Banten, pelampung yang digunakan biasanya drum atau Styrofoam. Pelampung dari bahan fibreglass harus dipesan khusus karena tidak ada di pasaran. Sebagai bahan perbandingan untuk menentukan pilihan jenis pelampung yang akan digunakan adalah lama pemakaian dan harga dari ketiga jenis pelampung.

Pengikat antara dua bambu untuk pembuatan bingkai karamba sebaiknya digunakan kawat yang bergaris tengah 0,4-0,5 cm. Berdasarkan pengalaman, mengikat dengan menggunakan kawat mudah dan cepat, walaupun mudah berkarat namun dalam jangka waktu satu tahun masih tahan, kalaupun berkarat mudah diganti dalam waktu singkat. Penggunaan tali plastik (polyethilene) untuk mengikat biasanya sering melar karena goyangan ombak sehingga bentuk rakit tidak simetris lagi.

Untuk mengikat pelampung ke bingkai digunakan tali plastik (polyethilene) yang bergaris tengah 0,8 – 1,0 cm. Sebagai penahan karamba apung agar tidak terbawa arus air digunakan jangkar dan karung pasir sebagai pemberat. Untuk tali jangkar digunakan tali plastik (polyethilene) yang bergaris tengah 5,0 cm. Panjang tali jangkar yang dibutuhkan 3 kali kedalaman air. Sebagai contoh bila kedalaman perairan 6 m maka tali yang dibutuhkan kurang lebih 18 m pada setiap jangkar. Untuk satu unit karamba dibutuhkan paling sedikit 4 buah jangkar, tetapi bila lebih dari satu unit, jangkar yang dibutuhkan bukan kelipatan 4 tetapi diatur sedemikian rupa sehingga mengurangi pemakaian jangkar. Jaring sebagai karamba dibuat dari bahan polyethilene, atau sering disebut dengan jaring trawl.

Ukuran mata jaring yang digunakan tergantung dari besar ikan yang dibudidayakan, biasanya berkisar antara 0,5-2,0 cm. Ukuran karamba bermacam-macam, disesuaikan dengan kedalaman perairan.
Konstruksi Karamba Jaring Apung (KJA) [sumber]
Beberapa hal yang perlu diperhatikan di dalam membangun budidaya perikanan di perairan umum adalah perhatian terhadap perairan umum sendiri sebagai suatu ekosistem di mana ikan harus hidup secara layak. Selain itu, kepentingan umum sebagai suatu perairan terbuka (open access) atau sebagai
perairan milik bersama (common property), perlu mendapat perhatian utama, sehingga keberlanjutan usaha dapat dipertahankan (sustainable uses).

Teknik-teknik pengelolaan perikanan di perairan umum harus mempertimbangkan semakin meningkatnya tekanan dari sektor pemanfaat lahan daratan dan perairan serta faktor-faktor sosial ekonomi yang membebani dan mempengaruhi sumber daya akuatik. Pemanfaat lahan daratan antara lain meliputi sektor pertanian, kehutanan, pekerjaan umum, perkotaan, perhubungan, dan pariwisata. Pemanfaat lahan perairan antara lain meliputi sektor tenaga listrik, irigasi kanalisasi pematusan, perikanan, perhubungan, dan permukiman. Faktor-faktor sosial-ekonomi yang harus diperhatikan antara lain adalah peningkatan pertambahan penduduk, kebutuhan pangan, kesempatan kerja, permukiman, dan transmigrasi.

Kegiatan sektor pemanfaat dan faktor-faktor sosek ini seluruhnya merupakan beban yang dapat menimbulkan perubahan fisika termodinamika dan kimiawi serta mempengaruhi sistem morfologi akuatik, kualitas dan kuantitas air, struktur badan air yang akhirnya mempengaruhi sumber daya akuatik dan mengancam kelestarian komunitas ikan dan organisme perairan lain khususnya serta kelestarian lingkungan umumnya. Karena pola dan keragaman faktor yang mempengaruhi komunitas ikan kebanyakan berada di luar sistem akuatik dan perikanan, maka pada setiap badan air harus dipertahankan adanya suatu keseimbangan antara kepentingan perikanan dan nonperikanan serta terpeliharanya sumber daya perikanan berikut lingkungannya.

Pada pengelolaan sistem akuatik bagi tujuan perikanan dalam rangka pemanfaatan jamak bersama sektor nonperikanan, maka pemantauan, pengendalian dan pembinaan harus dilakukan, baik terhadap kegiatan perikanan maupun nonperikanan. Pengelolaan sistem akuatik bagi tujuan perikanan dalam rangka pemanfaatan serba guna bersama sektor nonperikanan sangat tergantung kepada beberapa faktor kebijakan utama baik peranan dan arti penting perikanan terhadap sektor pemanfaat lain maupun sasaran-sasaran pengelolaan perikanan. Misalnya penetapan sasaran pengelolaan perikanan yang ingin dicapai dan pentingnya sektor perikanan di antara sektor nonperikanan.

Teknik pengelolaan perikanan yang diterapkan di badan air yang berfungsi serba guna harus ditujukan untuk mempertahankan dan memanfaatkan sumber daya secara optimal bagi tercapainya sasaran yang telah ditetapkan.

Teknik pengelolaan perikanan di perairan umum mencakup:
  1. Pengaturan untuk mengendalikan usaha perikanan.
  2. Modifikasi atau perlindungan struktur fisik lingkungan dengan memanfaatkan rekayasa lingkungan.
  3. Penebaran (stocking) ikan dari luar dan introduksi unsur-unsur baru ke komunitas perikanan.
  4. Pengembangan penangkapan dan budidaya dalam kondisi yang kurang lebih terkendali, serta pengembangan peran dan aspek sosial budaya dan ekonomi, antara lain melalui Lembaga Swadaya Masyarakat.

Budidaya dengan sistem karamba jaring apung (floating net-cage) telah dikenal secara luas, bahkan di dunia internasional seperti Singapura yang membudidayakan kerapu dan kakap dengan sistem ini.

Sistem budidaya dengan menggunakan karamba jaring apung (KJA) biasanya ditempatkan di perairan yang cukup dalam (> 5m) dan luas seperti perairan pantai, waduk ataupun danau. Sistem ini dibuat dengan cara mengikatkan kantong jaring dengan ukuran tertentu pada kerangka rakit terapung yang ditambatkan pada dasar perairan dengan menggunakan jangkar sehingga rakit tidak hanyut terbawa arus.

Ikan yang biasa dibudidayakan dengan menggunakan sistem ini adalah ikan kerapu tikus/kerapu bebek (Chromileptes altivelis), kakap merah (Lutjanus sanguineus), kakap putih (Lates calcarifer) dan beronang (Siganus spp.). Contoh budidaya dengan sistem KJA dapat dilihat di daerah sekitar perairan kepulauan Seribu (P. Kelapa) yang membudidayakan kerapu tikus dan juga di wilayah sekitar Teluk Banten.

Sumber : Modul Keteknikan Budidaya Perikanan

Semoga Bermanfaat...

Posting Komentar untuk "Wadah Budidaya Perikanan : Karamba Jaring Apung (KJA)"